InfoJadi - Jakarta - KPK sudah 2 kali memanggil Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai saksi korupsi BLBI, namun mangkir. KUHAP mengatur, jika ada pemanggilan berikutnya maka panggil paksa bisa dilakukan.
Posisi Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang berdomisili di Singapura tentu jadi kondisi khusus. KPK masih mempertimbangkan hal ini.
"Kita paham ketentuan KUHAP tersebut. Namun tentu akan berbeda kalau ada saksi yang berada di luar negeri. Tentu kita perlu koordinasi lebih lanjut," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2017).
"Nanti kita akan bicarakan kembali sejauh mana kebutuhan kegiatan-kegiatan lain yang akan dilakukan," imbuhnya.
Padahal Febri menyebut KPK telah menunjukkan itikad baik dengan melakukan 2 kali pemanggilan berturut-turut secara patut, dengan mengirim surat tertulis. "Dan kita harap itikad baik itu juga ada pada saksi atau sebagai obligor juga di sini. Karena proses penegakan hukum sedang berjalan di Indonesia," tegasnya.
Tetapi, agaknya KPK cukup percaya bisa mengungkap kasus ini. Walau belum mengantongi keterangan obligor yang terkait kuat dengan kasus yang merugikan negara Rp 3,7 triliun tersebut.
"Kami tidak akan terganggu kalau ada satu atau 2 saksi yang belum dapat hadir. Penyidikan ini harus terus berjalan. Pemetaan aset-aset yang ada di Indonesia juga terus kita lakukan.
Kasus ini berawal pada Mei 2002. Saat itu Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun pada April 2004, Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI. KPK menyebut perbuatan Syafruddin menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Dia disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sumber : Detiknews/POJOKQQ/JADIQQ