Ada ragam cara bagi anak muda untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Dari
mulai menggunakan cara yang paling umum hingga cara paling berlebihan dan
terkadang agaknyeleneh. Kesemuanya tak lain didorong atas nama kultur
“kekinian” dan hasrat mobilitas sosial atas dirinya sendiri. Saya tidak hanya
berbicara dan menyoroti sebuah kultur anak muda tetapi juga diri anak muda itu
sendiri. Dan, itu yang akan menjadi titik fokus utama tulisan ini.
Kenyataan bahwa anak muda yang menahan lapar hanya untuk dapat menikmati
sebuah kue kecil atau minuman segelas yang harganya selangit di tempat yang
juga selangit hingga sulit terjamah kaum jelata hingga rela menggunakan
berhutang kartu kredit untuk membeli barang yang secara fungsional bisa dibeli
di ITC, pasar atau toko-toko kecil menyiratkan sebuah pola berpikir yang sulit
dicerna.
Ada ungkapan sindiran yang sering kita lihat di banyak meme,
salah satunya adalah “Lebih baik menggunakan dompet seharga satu dollar dan
memiliki uang 99 dollar didalamnya dari pada sebaliknya” juga “Kita membeli
barang yang tidak bisa kita beli untuk membuat kagum orang yang tidak kita
suka”. Arti dari sindirian itu sebetulnya sederhana, kita dihimbau untuk lebih
berhati-hati untuk tidak melakukan sesuatu yang sia-sia dengan uang kita.
Sayangnya, kultur yang sedang dibuat oleh anak muda kantoran ini justru memaksa
mereka untuk melakukan segala kesia-siaan itu.
Saya ingin memberikan sebuah refleksi sosial dari fenomena ini. Selalu
ada makna di balik setiap tindakan sosial seorang individu. Dari gambaran
aktivitas konsumtif oleh anak muda membuat saya mulai berpikir bahwa
mereka sebetulnya ingin mencoba mendefinisikan diri mereka sendiri dari
pandangan orang lain.
Seorang sosiolog bernama Charles Horton Cooley (selanjutnya disebut
Cooley) menjelaskan sebuah konsep jitu bernama Looking Glass Self.
Penjelasan sederhana dari konsep ini adalah Aku adalah apa yang kamu
pikirkan tentang diriku. Artinya, seseorang akan mendefinisikan
identitas, self esteem dan juga segala hal yang berkaitan
tentang dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Dengan alur berpikir
yang demikian, sampai kapanpun sebetulnya ia akan sulit menjadi dirinya
sendiri karena seringnya bergantung pada penilaian orang lain.
Penjelasan ini kemudian tersirat secara jelas dari apa yang telah
dijelaskan di atas bahwa segala bentuk aktivitas hedonistik itu semata-mata
dilakukan tidak lain untuk menemukan diri mereka sendiri. Sebagai contoh paling
sederhana adalah memakai tas seharga ratusan juta hanya untuk dikira sebagai
orang kaya. Makan di restoran mahal (yang saya ragu apakah ia sendiri menyukai
makanan itu karena tidak semua makanan mahal rasanya enak) hanya agar orang
berpikir bahwa dirinya ‘eksis’.
Implikasi utama dari perspektif Cooley yang seringkali dilupakan oleh
para ‘eksmud’ ini adalah mereka sebenarnya sedang mengejar sesuatu yang semu.
Pun, mereka mendapatkan yang mereka mau, tidak akan bertahan lama. Sesuatu yang
tidak akan memberikan efek pijakan atas dirinya sendiri yang bersifat kokoh.
Social climbing yang diimpikan akan terlalu rapuh. Mengapa? Karena
target-target yang dituju hanya sesuatu yang bersifat sekelibat lupa.
Mereka menggunakan gadget terbaru, tas termahal, makan dan ngopi di
tempat yang viewnya cocok dipasang di Instagram atau sekedar check in di
sosial media lain hanya sekedar untuk mendapatkan perhatian dan penilaian
sederhana, “Duh, jalan-jalan mulu nih” atau “Waah, keren banget sih tempatnya”.
Atau bahkan sekedar untuk menginisiasi pandangan pribadi, “Saya eksis lho!”.
Sepertinya, dengan biaya semahal itu, tentu saya tidak berniat mencobanya.
Yang klise adalah mereka tidak sepenuhnya tak sadar akan hal itu. Mereka
sadar bahwa mereka harus mengeluarkan banyak uang dan rela menanggung lapar
juga gengsi bahkan mereka wajib berstrategi supaya tidak ketahuan orang lain.
Hal ini meninggalkan pertanyaan untuk saya. Mengapa sejak awal para anak
muda kantoran yang hanya sekedar ikut-ikutan trend atau memang berniat sekali
mendapatkan promosi jabatan tidak membuat suatu karya saja yang tidak hanya
membuat dirinya lebih fungsional,fair dalam mendapat prestise
status sosial di tempat kerja dan juga sebagai pembuktian kepada diri sendiri
juga di mata publik bahwa memang dirinya benar-benar seorang pekerja yang
berkualitas dan berkompetensi tinggi?
Tanpa sadar, gaya hidup anak muda kaum urban yang seringkali mengimitasi
gaya hidup kelas atas tidak hanya membuat sebuah struktur yang mendorong
individu untuk keluar dari dirinya sendiri, menjauhinya dan kemudian memaksa
mencarinya sendiri dari sudut pandang orang lain tetapi juga menggadaikan dan
mengikis realitas kebenaran akan dirinya sendiri.